Logo Bimbingan Solusi. Foto: Solusi
SEBUAH bisnis tak melulu harus berupa barang. Kala kita punya kemampuan ditambah kemauan, serta semangat pantang menyerah, maka setiap orang niscaya akan berhasil. Contoh saja Siswadi, dengan semangat pantang menyerahnya, dia memutuskan untuk membuka sebuah usaha.
Bukan usaha di bidang barang yang dia tekuni, namun jasa. Tidak perlu jasa yang besar, dia hanya memanfaatkan kemampuanya yang diserap lewat pendidikan dan pengalamannya. Bersama lima orang temannya, Siswadi memutuskan untuk membuka bisnis bimbingan belajar (bimbel) di daerah Matraman, Jakarta.
Namun, dalam menjalankan sebuah usaha, memang tak semudah yang dibayangkan. Belum apa-apa, Siswadi dan temannya harus berjibaku dengan masalah tempat usaha bimbel. Karena memang tidak mempunyai modal, Siswadi tidak dapat mendirikan bimbel tersebut di tempat yang terbilang strategis. Mereka pun harus puas membuka bimbel di rumah kosong milik temannya di Jalan Kayu manis 6 nomor 33.
Kala dibuka pun, Siswadi hanya punya modal Rp300 ribu untuk perlengkapan bimbel. Oleh sebab itu, bimbelnya pun hanya mempunyai 98 murid SD menjadi siswa pertama.
"Alhamdulillah semuanya lulus masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), bahkan dua di antaranya berhasil ikut pertukaran pelajar ke Jerman," kenang Siswadi kala berbincang dengan okezone, beberapa waktu lalu.
Modal yang minim membuat Siswadi tidak dapat melakukan survei mendalam pada kurikulum atau materi yang ada. Saat itu, dia hanya menggunakan insting dan pengalamannya dalam memilih pelajaran. Nampaknya Dewi Fortuna memang berpihak padanya, insting Siswadi kala itu memang jitu. Sebab, banyak siswa mengatakan materi yang diberikan di bimbel Solusi banyak keluar saat ujian. "Yang menurut saya sulit (pelajarannya) dan kompleks kita ajarkan ke siswa," jelasnya.
Setelah bisnis kian membesar, Siswadi tak lagi menggunakan insting untuk membantu belajar anak didiknya. Bimbelnya kini mempekerjakan tenaga kurikulum, guna menyusun soal dan materi pelajaran yang dia seleksi dengan ketat.
Alhasil, dengan kurikulum matang dan kesaksian dari para anak didiknya, membuat nama Solusi makin menggaung di dunia bimbel. Hal itulah yang membuatnya berani memberikan jaminan, kualitas pembelajaran di Solusi terstandar dengan baik.
Dengan menerapkan konsep belajar team best learning plus, setiap kelas hanya berisi 10 siswa, modul pembelajaran yang ringkas dan mudah dimengerti, mengiringi langkah Siswadi menjadi penerima penghargaan penyelenggara bimbel terbaik versi majalah bisnis nasional pada 2009 silam. Penghargaan itu, didapatkan lantaran peningkatan jumlah siswa yang mencapai 100 persen tiap semester.
Perjuangan
Kesuksesan yang didapat Siswadi dan kelima temannya, bukan jatuh dari langit. Bimbel Solusi pun bukan warisan siapa-siapa. Laki-laki kelahiran Purwodadi, Jawa Tengah, ini membutuhkan waktu panjang untuk membangun bimbel Solusi.
Siswadi lahir dan besar dari keluarga yang serba kekurangan. Siswadi kecil, yang ditinggal pergi oleh ayahnya pada usia lima tahun, sudah memiliki semangat besar untuk mengubah nasib. Sewaktu duduk di kelas III SD, didorong rasa penasarannya, Siswadi merantau ke Semarang mencari ayahnya.
Karena masih kecil, Siswadi belum punya perhitungan. Hasilnya, Siswadi kecil pun terlantar karena tidak punya kerabat di Semarang. Untuk hidup, Siswadi pun menjadi pengamen demi mendapatkan sesuap nasi di kota itu. Sembari mengamen, Siswadi tetap mencari kabar tentang sang ayah. Seiring waktu berjalan, Siswadi merasa mencari ayahnya adalah sia-sia, karenanya dia memutuskan untuk menyerah dan kembali ke Purwodadi.
Selang beberapa lama di rumah, entah angin apa yang mendorong Siswadi memutuskan kembali merantau. Kali ini tujuannya bukan lagi Semarang, namun ke ibu kota. Lagi-lagi, Siswadi pergi hanya berbekal tekad. Pergi dengan kereta api, Siswadi pun diturunkan dengan tidak hormat karena tidak membayar. "Karena tak mempunyai tiket, saya diturunkan di sawah," kenang Siswadi.
Semangatnya memang patut diacungi jempol. Tekat Siswadi yang sudah bulat membuatnya rela berjalan kaki menyusuri sawah hingga bertemu dengan terminal bus. Sampai di terminal Pulo Gadung, Jakarta, Siswadi juga tidak punya kerabat. Pengalaman hidupnya di Semarang, nampaknya telah memberikan semangat tersendiri bagi dia. "Agar tetap hidup, saya mengamen lagi di terminal itu," jelas Siswadi.
Siswadi pun malang melintang hidup di jalanan. Ini membuatnya dapat berkenalan dengan banyak orang. Dia bahkan pernah ikut demonstrasi di 1998, namun bukan untuk memperjuangkan hak-hak seperti yang dilakukan kebanyakan orang, Siswadi berdemo demi mendapatkan sebungkus nasi.
Dari keikutsertaanya pada demonstrasi tersebut, Siswadi diajak bergabung oleh kelompok mahasiswa proreformasi bernama Forum Kota (Forkot). Siswadi akhirnya menetap di markas Forkot itu sembari mengenyam pendidikan yang kala itu belum diselesaikannya dengan kejar Paket A, setara dengan SD. Setelah lulus, Siswadi menyadari pentingnya pendidikan, dia pun meninggalkan Forkot dan melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya.
Guna mengenyam pendidikan, Siswadi mengandalkan kemampuan mengamennya untuk mencari sesuap nasi dan juga biaya sekolah. Meski begitu, faktor fisik terkadang menyebabkan dia meminta uang secara paksa kepada murid lain. "Untungnya kepala sekolah berbaik hati dan membebaskan saya dari SPP," kata dia.
Setelah lulus SMP, Siswadi yang ingin merasakan manisnya masa SMU, mulai berfikir lebih maju. Dia tidak ingin lagi mengandalkan kemampuan mengamennya. Maka dari itu dia pun mencari pekerjaan. Beruntung sebuah penyewaan game memakai jasanya. Gaji dari penyewaan game itu akhirnya dipakai membiayai sekolah.
Siswadi pun mulai intens mengikuti organisasi, dia mulai aktif di kegiatan nasyid SMU, bahkan sempat menjadi juara antar-SMU. "Sejak itu, saya mulai tenang dan tidak nakal," ungkap Siswadi.
Lulus SMU, Siswadi sempat merasakan perguruan tinggi di Universitas Bhayangkara. Namun, dia memutuskan bekerja sebagai tenaga marketing di sebuah lembaga bimbel. Di tempat bimbel itulah Siswadi belajar seluk-beluk usaha bimbel. Siswadi pun akhirnya memutuskan untuk membuka bimbel sendiri bersama teman-temannya.
Semua Orang Berhak Mendapat Pendidikan
Berkaca dari masa lalunya, tekad Siswadi membentuk bimbel tidak difokuskan untuk mencari penghasilan. Siswadi ingin membuktikan bahwa bimbel itu hak semua murid dari semua status sosial. Itulah sebabnya, dalam mengelola bimbel, Siswadi berusaha menjangkau murid SD dan SMP dari kalangan menengah bawah dengan menawarkan biaya murah.
Namun, seiring berlalunya waktu, Bimbel Solusi pun tumbuh menjadi Bimbel besar. Jika pada awalnya Solusi menargetkan anak didik dari kalangan menengah ke bawah, saat ini siswa yang bergabung juga banyak dari kalangan atas.
"Dulu memang fokus anak kurang mampu, tapi sekarang kami juga menjangkau kalangan kelas atas," kata Siswadi.
Meski begitu, dia tetap mematok tarif murah Rp500 ribu per semester. "Itu menjadi daya tarik tersendiri, sebab walaupun murah namun materi yang diajarkan berkualitas," klaim Siswadi.
Dengan tarif yang terjangkau, siswa juga akan mendapatkan modul belajar, buku pengembangan, serta tempat belajar ber-AC. Siswa juga memperoleh training atau seminar motivasi yang berlangsung di tengah atau akhir semester. Naiknya pamor Solusi, membuat Siswadi berani mewaralabakan Bimbel Solusi-nya. "Kami ingin mengembangkan bimbel solusi ke seluruh Indonesia," katanya.
Saat ini, bimbel solusi telah memiliki 45 cabang dan mitra di seluruh Indonesia dengan total murid sekira 7.000 orang. Karyawan yang bekerja di Solusi telah mencapai kurang lebih 500 orang.
Dengan jumlah tersebut, omzet yang diperoleh setiap bulan bisa mencapai Rp400 juta. Namun demikian, sukses yang diraih Siswadi tidak menghilangkan kenangan saat dia harus berjuang menjadi pengamen di jalanan. Sebagai bentuk perhatiannya, Siswadi memberikan kursus gratis bagi anak yatim piatu. "Di balik kesuksesan pasti ada hak orang lain," kata dia.
Setelah sukses lewat bimbelnya, barulah Siswadi menyempatkan diri meneruskan kuliahnya yang tertunda akibat biaya, namun kali ini dia menerukskan di universitas yang berbeda.